Gabrielle - Out of Reach, a song that stuck in my mind lately...

Rabu, 25 November 2009

0 komentar
Gabrielle - Out of Reach

Knew the signs wasn't right
I was stupid, for a while
Swept away, by you
And now I feel like a fool

So confused
My heart's bruised
Was I ever loved by you?

Out of reach, so far
I never had your heart
Out of reach, couldn't see
We were never mean to be

Catch myself, from despair
I could drown if I stay here
Keeping busy, everyday
I know I will be okay

So much hurt, so much pain
Takes a while to regain
What is lost inside
And I hope that in time
You'll be out of my mind
I'll be over you

Out of reach, so far,
You never gave your heart
In my reach, I can see
There's a life out there for me

This song stuck in my mind lately, mellow? maybe. But I do love this song, because it shows desperation that I feel lately about my love life. Confusion, and desperation mixed up in my mind and I just couldn't know how to make you realize about that.

Sometimes I feel you are so out of reach, and I don't know how to make you satisfy and understand that I love you so much. Have I ever get your heart?

Dan tidak semua teman adalah sahabat...

Senin, 23 November 2009

0 komentar
Life lesson #1
"Tidak semua orang tulus bersahabat dengan kita"

Sebuah pelajaran yang berarti saya dapatkan sore ini ketika sedang berbincang-bincang ringan di sepanjang jalan pulang dari Depok dengan Dinda Sarasannisa, sahabat sekaligus partner terbaik saya.

Mengapa?

Hmmm, tidak begitu etis sebenarnya untuk membahas alasannya disini karena sifatnya yang personal tapi yang jelas hal tersebut kemudian menjadi kesimpulan utama pembicaraan kami sepanjang jalan. Menyadarkan saya juga bahwa sekian banyak teman yang ada di sekitar kita, sebegitu sedikit yang akhirnya menjadi sahabat kita dan hanya 1-2 orang saja yang tulus menyayangi dan memperhatikan kita.

Perbincangan kami semakin menarik, mengingat hal serupa dalam konteks yang berbeda juga pernah terjadi pada diri saya. Dimana mereka yang mengaku sebagai teman sedemikian cepat menghilangnya dari kehidupan saya, tanpa saya pernah tahu kemana mereka pergi. Dimana mereka para teman yang tadinya mengaku peduli dan menyayangi kita, tiba-tiba berbalik menghadap ke belakang seraya melontarkan kata-kata yang mengundang permusuhan. Dari teman menjadi lawan.

Namun, saya kemudian menyadari bahwa itulah saat dimana seleksi alam terjadi, yang menunjukkan dan membukakan mata kita pada fakta bahwa tidak semua teman adalah sahabat, dan tidak semua sahabat menawarkan persahabatan yang tulus. Di situlah kita dapat melihat, siapa yang benar-benar merupakan sahabat bagi kita, dan siapa yang hanya profit oriented dalam memandang sebuah persahabatan. Dengan begitu kita akan mendapatkan suatu kualitas hubungan persahabatan yang lebih baik, dan lebih berarti, yang bisa memberikan manfaat bagi kita tanpa harus kita mengharapkan manfaat dari mereka. Karena itulah sahabat yang sesungguhnya, persahabatan yang memberikan hal-hal positif seiring dengan ketulusan yang diberikan darinya kepada kita, tanpa harus kita meminta ataupun berharap hal tersebut dari mereka.





Dan saya kemudian menemukan bahwa disekitar saya, sedikit dari mereka yang bisa saya katakan sebagai sahabat yang sesungguhnya. Dan saya bersyukur, meskipun hanya sedikit dari mereka, tp mereka memberikan arti pada hidup saya dengan selalu ada di sekitar saya, di kala senang dan susah.

Terimakasih sahabat...

*dedicated buat sahabat-sahabat gw di luar sana yang menawarkan persahabatan yang tulus. Terutama untuk sahabat terbaik gw, Dinda Sarasannisa dan Adhika Paramartha :)

Catatan dari Citra Pariwara

Minggu, 22 November 2009

0 komentar
Berangkat dari optimisme yang besar (atau malah berlebihan?), saya dan partner kerja saya melangkahkan kaki ke Hotel Century senin siang itu. Menatap seminggu ke depan dengan tatapan cerah akan pengharapan sebuah pengalaman besar dalam hidup kami.

Ya, seminggu lalu saya bersama partner saya mengikuti workshop, seminar dan penugasan akhir lomba iklan paling bergengsi se-antero negeri, Citra Pariwara. Setelah berkompetisi dengan 121 peserta lainnya yang kemudian disusutkan menjadi 10 peserta saja, kini saatnya kami untuk berkompetisi di ronde terakhir, mencari 3 terbaik di antara kami bersepuluh.

Pikiran untuk masuk ke dalam jajaran 3 besar, apalagi menjadi yang terdepan dan pergi ke Thailand sebagai pemenang tidak pernah terlintas di pikiran saya semenjak nama saya dan partner saya diumumkan menjadi finalis lomba. Buat saya bisa merasakan pengalaman menjadi finalis lomba paling bergengsi untuk mahasiswa periklanan se-Indonesia saja sudah merupakan hal yang patut disyukuri. Terlebih mengingat bahwa saya samasekali belum pernah mengikuti lomba-lomba serupa di lingkup yang lebih kecil.

Dengan pikiran yang tanpa beban tersebut, saya mengikuti tahapan demi tahapan yang harus dilalui oleh tiap finalis sampai akhirnya ke tahapan yang paling menantang di minggu itu, PEMBAGIAN BRIEF TUGAS AKHIR.

Setelah sekian lama dan berulang kali membaca tiap paragraf di brief yang diberikan juri, saya dan partner saya masih saja merasa stuck tanpa ide apapun. Mood yang tidak juga kunjung datang untuk mendapatkan ide yang cukup brilliant untuk dieksekusi membuat saya pusing sendiri. Di tengah kepusingan itu, saya memutuskan untuk pergi ke toko stationary di lantai 3 Plaza Senayan, sambil mengkondisikan pikiran saya agar lebih fresh dan tidak terkunci dalam kepenatan ruang sempit dan penuh asap di Coffee Bean.

Pada saat itulah saya mencoba sambil mengamati gerak-gerik kehidupan manusia (walaupun hanya dalam konteks yang sempit), dan tiba-tiba di saat itu pula mindset saya yang membuat pikiran saya tanpa beban menghadapi kompetisi tahap terakhir ini menjadi berubah 180 derajat. Sederhana saja sebenarnya alasan mengapa hal itu terjadi, saya melihat 2 toko dengan produk sejenis yang berdiri berderet, yang satu dengan suatu bentuk pencitraan yang cukup menarik dan yang satu lagi, tanpa pencitraan yang jelas. Hasilnya? Jelas, yang memakai pencitraan menarik lebih ramai dikunjungi orang. Itulah yang membuat saya kemudian merubah mindset saya menjadi,

There is no room for a loser

Itu yang tiba-tiba muncul di kepala saya dalam perjalanan menuju toko stationary di lantai 3 Plaza Senayan. Perubahan mindset saya ini membawa keberuntungan dan kesialan. Keberuntungan karena kemudian membawa saya pada sebuah ide, kesialan karena ide tersebut muncul didasarkan pada sebuah ambisi yang berlebihan, keterburu-buruan, kecerobohan akan minimnya analisa dan pembantahan terhadap segala kontra argumen pada ide tersebut secara menggebu-gebu dan tanpa perhitungan. Berbeda dengan di saat ide yang dulu muncul (ide #mimpiku di tahap penyisihan) yang didasarkan pada ketenangan berpikir, diskusi dan brainstorming yang terarah, serta adanya suatu analisa ide yang sistematis mengenai kelebihan dan kekurangan ide tersebut.

Ambisi berlebihan itu kemudian membuat saya menjadi tidak tenang, mendorong saya ke arah yang salah dalam melakukan eksekusi dan kemudian menghasilkan karya yang samasekali di luar ekspektasi para juri. Itulah yang saya sadari pasca malam penganugerahan.

Hasilnya? Seperti yang kemudian saya duga, kami kalah.

Ini sangat mengecewakan buat saya, karena ambisi saya kelewat besar pada saat penugasan dan akhirnya membuat saya menyalahkan diri sendiri akan inkapabilitas saya dalam mengontrol keadaan pikiran saya agar tetap tenang dan fokus pada brief dan bukan pada hasil akhirnya dulu.

Kemudian, 2 hari berselang setelah malam penganugerahan dan saya masih merasa kecewa. Namun lalu saya berpikir bahwa, inkapabilitas saya tersebut memang sesuatu yang mengecewakan, tapi toh memang semua orang punya waktunya masing-masing, jika saya kalah kemarin masih akan ada sederet kompetisi lainnya yang mungkin bisa saya coba.

Kekecewaan saya masih tersisa tapi selebihnya malah sekarang berubah menjadi optimisme, bahwa akan ada Caraka di Mei 2010 dan Pinasthika di September 2010. Sesuatu yang harus saya nantikan dengan optimisme dan fokus yang tinggi agar saya bisa menang dalam kompetisi-kompetisi tersebut.

Seperti kata Confucius "Our Greatest Glory is not in never falling, but in rising every time we fall".

dan kini saya bisa melengkapi mindset saya tadi menjadi,

There is no room for a loser. But if you lose there will be a hundred rooms more for you in the future, if you're not drowned in your own fall.

Saatnya menatap ke depan dengan penuh optimisme, selamat bertemu di kompetisi selanjutnya :)


awarding night citra pariwara, 20th of November 2009 at The Hall, Senayan City