Orangtua bukan Dewa dan anak bukan kerbau

Rabu, 01 Desember 2010

2 komentar
Dalam prinsip hierarki keluarga kita mengenal istilah-istilah yang sebenarnya memberikan pangkat tertentu dalam sistem rumah tangga. Tujuan dasarnya adalah pembagian peran dan tugas masing-masing dalam sistem tersebut. Kita mengenal istilah ayah yang berperan sebagai kepala keluarga, dan bertugas mencari nafkah, ada juga ibu yang berperan sebagai pengurus rumah tangga dan bertugas menata kehidupan rumah tangga yang ada. Kita juga mengenal peran seorang anak, yang berperan sebagai sub-ordinat terbawah dalam sistem ini dan bertugas mengenyam pendidikan.

Konsep hierarki ini dapat dipahami sebagai sesuatu yang tidak sejajar karena secara bawaan mereka yang menyebut dirinya orangtua memegang sebuah hak yang sangat istimewa. Oleh agama, mereka diberikan sebuah kekuasaan yang sangat luas dan kebebasan untuk bertindak secara otoriter. Layaknya sebuah negara, menjadi kebebasan bagi mereka yang lebih kuat untuk memilih apakah kemudian akan tetap bersikap otoriter atau beralih menjadi negara yang demokratis, atau malah berpura-pura demokratis dengan agenda tertentu.

Berkedok aturan-aturan normatif seperti "jangan melawan orangtua nanti kamu durhaka", anak diposisikan sebagai sub ordinat yang tidak selayaknya membantah. Harus menurut seperti kerbau dan mendewakan orangtua selayaknya Tuhan yang selalu benar. Vox populei vox dei tidak berlaku dalam sistem rumah tangga, yang ada adalah vox parentes vox dei, suara orang tua adalah suara Tuhan, mereka ditempatkan selayaknya kaisar Jepang yang merupakan penjelmaan dari Tuhan.

Secara historis memang mereka memiliki jasa dalam melahirkan dan membesarkan kita, namun bukankah kita terlahir dengan tujuan tertentu yang memang diatur oleh Tuhan? Jika kaum feminis saja bisa meminta persamaan hak dengan kaum pria, mengapa hingga era modern seperti ini kekuasaan yang terlalu luas seperti itu pada orangtua masih saja tidak dapat dibantahkan?

Kini jika orangtua dan anak bermasalah, selalu anak yang harus mengalah. Mengalah dan kalah.
Padahal tidak jarang pula orangtua yang salah dan selayaknya meminta maaf. Selayaknya budak, anak harus menempatkan dirinya menghamba, meminta maaf, disaat orangtua selayaknya juga berkaca, sudahkah saya sesempurna itu?

Kita anak diikat oleh ikatan yang disebut ikatan finansial. Kita belum bisa mandiri, masih diberikan sumbangan oleh mereka yang menjadi leverage mereka dikala kita bermasalah. Selayaknya negara adikuasa yang menekan negara berkembang, "paket bantuan ekonomi" ini seringkali dijadikan alat tawar yang efektif dalam menekan kita dalam posisi di rumah. Sebuah kekuasaan yang mereka dapatkan karena mereka lahir lebih dahulu dari kita, bukan karena mereka memang pasti lebih hebat dari kita, hanya belum saatnya bagi kita untuk terlepas dari jerat "paket bantuan ekonomi" itu. Saat kita mandiri, dan pasti kita akan mandiri, akan tiba saatnya berbalik paket itulah yang kita berikan ke mereka. Melihat hubungan yang mutual seperti ini, seharusnya mereka sadar, bahwa kekuatan ekonomi mereka di masa ini adalah investasi untuk diri mereka sendiri di masa mendatang, investasi yang diberikan lewat kita.
Terdengar egois bukan mendengar kata investasi? 
Seharusnya mereka sadar investasi tersebut, dan selayaknya investasi tidak seharusnya mereka menempatkan diri mereka dalam posisi bargaining yang tinggi saat ini untuk menekan kita, jika tidak ingin berbalik di kemudian hari. Dan kita pada saatnya nanti, tidak akan berinvestasi kepada mereka, kita hanya akan benar-benar memberikan "paket bantuan ekonomi" semata, karena tidak akan ada future profit yang menanti dari "paket bantuan ekonomi" bagi mereka pada saatnya nanti.
Tolonglah bersifat lebih arif wahai orangtua..

Ah, kalian yang membaca tulisan ini boleh punya pendapat kalian masing-masing. Tapi jangan ceramahi saya dengan kalimat-kalimat normatif yang sudah saya tahu. Kalimat nasehat seperti itu sudah terlalu banyak saya baca di buku-buku akhlak sewaktu sekolah dasar dan rasanya tidak perlu kalian ulang untuk ingatkan kepada saya sekarang. Dan saya  juga tidak meminta kalian bersimpati kepada saya, silahkan berpandangan berbeda dengan saya, saya bukan mereka yang otoriter. Tulisan saya ini karena saya merasa mereka bukan Dewa dan saya bukan kerbau yang harus selalu menurut, kita diciptakan sederajat oleh Tuhan sehingga selayaknya mulai berkaca pada tugas dan peranan masing-masing, bukan malah menempatkan satu lebih rendah daripada yang lain dan berpikir dapat bertindak sewenang-wenang kepadanya.