Indonesia memang dianggap sebagai salah satu negara dengan tingkat pembajakan yang 'unacceptable' di dunia, nomor 4 setelah Brazil, China dan India. Ini dikarenakan Indonesia memiliki rate pembajakan mencapai 80% dengan omzet di tahun 2009 kemarin mencapai 4,3 Triliun! Hitungan tersebut didapat berdasarkan kerugian pihak label yang mencapai 3 Triliun dan kerugian kas negara akibat pajak yang hilang mencapai 1,3 Triliun!
Jumlah yang FANTASTIS!
Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) selaku organisasi yang memayungi para label-label besar di Indonesia semacam Sony BMG, Aquarius, EMI dan lain sebagainya tidak tinggal diam menanggapi hal tersebut. Berbagai tindakan pun segera dilakukan dalam rangka meredam tingkat pembajakan yang kian tinggi, salah satunya adalah dengan mendesak Presiden SBY untuk mencanangkan Gerakan Anti Pembajakan.
Tapi apakah akan efektif?
Pelanggaran Hak Cipta di Indonesia sebenarnya telah diatur di Undang-Undang no.19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, dan telah jelas tertulis di pasal 12 ayat 1 bahwa musik dengan atau tanpa teks merupakan salah satu ciptaan yang dilindungi. Selain itu diperjelas pula pada Bab XIII di Undang-Undang yang sama mengenai ancaman pidana bagi mereka yang dengan sengaja melanggar ketentuan hak cipta yang ada di undang-undang tersebut. Namun sayangnya ketentuan yang ada tidak juga kunjung membuat para pembajak dan pembeli bajakan jera dalam melakukan aksi pembajakan.
Data menunjukkan bahwa sekitar akhir era 90an, anggota ASIRI mencapai sekitar 250 perusahaan rekaman dalam berbagai skala, kini seiring dengan semakin merajalelanya pembajakan di Indonesia, jumlah anggota ASIRI hanya pada kisaran 80 perusahaan rekaman saja, banyak diantara perusahaan rekaman yang ada di Indonesia terpaksa gulung tikar akibat tidak mendapat keuntungan dari penjualan kaset maupun CD. Ini dikarenakan memang banyak label kecil yang dalam perputaran roda ekonominya sangat bergantung pada penjualan hasil produksi rekaman artis yang dibiayainya tersebut. Dengan skala artis yang kecil ditambah lagi dengan pembajakan yang kian menghebat dan tidak pandang bulu (artis kecil pun dibajak), maka berat rasanya bagi label kecil untuk dapat bertahan di tengah derasnya tantangan yang harus mereka hadapi.
Marie Elka Pangestu selaku Menteri Perdagangan pernah membahas mengenai kondisi Industri Musik di Indonesia dalam sebuah tulisan berjudul "Cetak Biru Industri Musik di Indonesia" yang pernah dimuat di Majalah Rolling Stones Indonesia dalam 2 bagian tulisan. Di situ dijelaskan salah satu alasan mengapa pembajakan tumbuh subur di Indonesia adalah dikarenakan pajak yang teramat tinggi yang harus ditanggung oleh Industri Musik, tidak hanya itu adanya aturan pengenaan pajak internasional bagi musisi yang menyanyikan lagu berbahasa asing (meskipun musisi lokal) menambah berat production cost yang harus ditanggung musisi lokal. Inilah yang kemudian mengakibatkan harga CD dan kaset terasa mahal di kantong kita, para penikmat musik di Indonesia.
Lebih lanjut Mendag menekankan mengenai kemudahan yang muncul melalui ICT (Information Communication Technologies) yang mendukung pembajakan. Kemudahan melakukan sharing di Internet semakin menyuburkan pembajakan di Indonesia. Meskipun begitu, ICT juga memiliki sisi positif, salah satunya adalah kemampuannya menyuguhkan media baru dalam memasarkan lagu yaitu lewat RBT, satu-satunya media yang belum sanggup dibajak hingga hari ini, sehingga setidaknya label dan artis bisa sedikit bernapas lega lewat royalti yang mereka peroleh dari operator seluler tersebut.
Dalam tulisannya, Mendag juga turut membagi pengalaman salah satu musisi lokal yaitu Ari Lasso yang menceritakan bagaimana ia membeli sendiri karyanya yang dibajak. Ia mengungkapkan bagaimana ia bisa menemukan 6 versi album The Best of miliknya dengan judul dan komposisi lagu yang berbeda-beda, tergantung pembajaknya.
Meskipun begitu, saya mencoba untuk mengajak kita semua untuk berdiskusi dan melihat soal pembajakan ini dari sudut pandang yang sedikit berbeda.
Data memang menunjukkan bahwa sebagian besar keuntungan industri musik yang harusnya jatuh ke tangan label dan musisi yang bersangkutan akhirnya malah jatuh ke tangan para pembajak yang dengan bebas menggandakan karya cipta orang lain tanpa izin. Namun benarkah artis juga dirugikan dengan adanya pembajakan karya mereka?
Dari segi finansial memang mereka di rugikan di sisi penjualan kaset dan CD, namun kini hidup artis seperti yang diungkapkan oleh Mendag sudah ditopang oleh kehadiran RBT. Ini dibuktikan salah satu musisi lokal kita yaitu Samsons yang berhasil meraup keuntungan dari royalti RBT mereka hingga 21 miliar rupiah! Angka tersebut memang bukan angka bersih yang diterima Samsons, tapi setidaknya penghasilan mereka melalui RBT dapat menutupi kebocoran yang timbul di penjualan CD dan kaset mereka akibat pembajakan.
Dari segi yang lain, promosi misalnya, artis sebenarnya diuntungkan dengan adanya pembajakan karya mereka. Tanpa harus repot-repot mengeluarkan dana untuk promo, lagu-lagu mereka akan dengan mudah sampai di telinga para pendengarnya hingga ke pelosok daerah. Tentunya promo yang begitu derasnya lewat bajakan yang tersebar dimana-mana mendorong tingginya tawaran untuk menggelar konser hingga di pelosok negeri sehingga arus kas dari honor konser mereka pun akan sangat deras.
Hal tersebut dibuktikan dengan patokan honor artis yang luar biasa tinggi. Tentunya harga bisa dipatok tinggi karena demand terhadap mereka juga tinggi. Grup musik ungu misalnya mematok honor 400-500juta/show. Patokan harga yang tinggi juga salah satunya dipengaruhi faktor promosi lagu yang sangat luas dan keampuhannya menjaring penonton, dan ini dipengaruhi tingkat distribusi album bajakan yang bisa hingga ke pelosok negeri.
Dengan begitu, kita dapat sedikit menyimpulkan dampak terbesar dari pembajakan dirasakan oleh pihak label karena minimnya pemasukkan kepada mereka dari CD dan kaset, meskipun mereka juga merasakan cipratan dari pendapatan RBT. Hal tersebut memang sangat meresahkan bagi mereka dan itulah mengapa kampanye stop pembajakan kian didengungkan, semata-mata untuk menyelamatkan industri musik kita dari kehancuran akibat label yang gulung tikar.
Layaknya 2 sisi mata uang, pembajakan memiliki sisi negatif dan positifnya, tinggal bagaimana kita menyikapinya. Seruan untuk menghentikan pembajakan sebenarnya baik, namun jika sharing is caring dan nyatanya pembajakan tidak merugikan musisi sebagai penghasil karya intelektual, lalu mengapa harus berkata tidak pada pembajakan?
sumber :
- blogs.zdnet.com/ITFacts/?p=8613
- www.kabarbisnis.com/umum/indepth/288272-_2009_omset_pembajakan_musik_capai_4_3_triliun_rupiah
- www.depdag.go.id
- www.dewa19.com/forums/daftar-honor-artis-musisi-termahal-di-ina-rcam-t-8872.html