Catatan dari Citra Pariwara

Minggu, 22 November 2009

Berangkat dari optimisme yang besar (atau malah berlebihan?), saya dan partner kerja saya melangkahkan kaki ke Hotel Century senin siang itu. Menatap seminggu ke depan dengan tatapan cerah akan pengharapan sebuah pengalaman besar dalam hidup kami.

Ya, seminggu lalu saya bersama partner saya mengikuti workshop, seminar dan penugasan akhir lomba iklan paling bergengsi se-antero negeri, Citra Pariwara. Setelah berkompetisi dengan 121 peserta lainnya yang kemudian disusutkan menjadi 10 peserta saja, kini saatnya kami untuk berkompetisi di ronde terakhir, mencari 3 terbaik di antara kami bersepuluh.

Pikiran untuk masuk ke dalam jajaran 3 besar, apalagi menjadi yang terdepan dan pergi ke Thailand sebagai pemenang tidak pernah terlintas di pikiran saya semenjak nama saya dan partner saya diumumkan menjadi finalis lomba. Buat saya bisa merasakan pengalaman menjadi finalis lomba paling bergengsi untuk mahasiswa periklanan se-Indonesia saja sudah merupakan hal yang patut disyukuri. Terlebih mengingat bahwa saya samasekali belum pernah mengikuti lomba-lomba serupa di lingkup yang lebih kecil.

Dengan pikiran yang tanpa beban tersebut, saya mengikuti tahapan demi tahapan yang harus dilalui oleh tiap finalis sampai akhirnya ke tahapan yang paling menantang di minggu itu, PEMBAGIAN BRIEF TUGAS AKHIR.

Setelah sekian lama dan berulang kali membaca tiap paragraf di brief yang diberikan juri, saya dan partner saya masih saja merasa stuck tanpa ide apapun. Mood yang tidak juga kunjung datang untuk mendapatkan ide yang cukup brilliant untuk dieksekusi membuat saya pusing sendiri. Di tengah kepusingan itu, saya memutuskan untuk pergi ke toko stationary di lantai 3 Plaza Senayan, sambil mengkondisikan pikiran saya agar lebih fresh dan tidak terkunci dalam kepenatan ruang sempit dan penuh asap di Coffee Bean.

Pada saat itulah saya mencoba sambil mengamati gerak-gerik kehidupan manusia (walaupun hanya dalam konteks yang sempit), dan tiba-tiba di saat itu pula mindset saya yang membuat pikiran saya tanpa beban menghadapi kompetisi tahap terakhir ini menjadi berubah 180 derajat. Sederhana saja sebenarnya alasan mengapa hal itu terjadi, saya melihat 2 toko dengan produk sejenis yang berdiri berderet, yang satu dengan suatu bentuk pencitraan yang cukup menarik dan yang satu lagi, tanpa pencitraan yang jelas. Hasilnya? Jelas, yang memakai pencitraan menarik lebih ramai dikunjungi orang. Itulah yang membuat saya kemudian merubah mindset saya menjadi,

There is no room for a loser

Itu yang tiba-tiba muncul di kepala saya dalam perjalanan menuju toko stationary di lantai 3 Plaza Senayan. Perubahan mindset saya ini membawa keberuntungan dan kesialan. Keberuntungan karena kemudian membawa saya pada sebuah ide, kesialan karena ide tersebut muncul didasarkan pada sebuah ambisi yang berlebihan, keterburu-buruan, kecerobohan akan minimnya analisa dan pembantahan terhadap segala kontra argumen pada ide tersebut secara menggebu-gebu dan tanpa perhitungan. Berbeda dengan di saat ide yang dulu muncul (ide #mimpiku di tahap penyisihan) yang didasarkan pada ketenangan berpikir, diskusi dan brainstorming yang terarah, serta adanya suatu analisa ide yang sistematis mengenai kelebihan dan kekurangan ide tersebut.

Ambisi berlebihan itu kemudian membuat saya menjadi tidak tenang, mendorong saya ke arah yang salah dalam melakukan eksekusi dan kemudian menghasilkan karya yang samasekali di luar ekspektasi para juri. Itulah yang saya sadari pasca malam penganugerahan.

Hasilnya? Seperti yang kemudian saya duga, kami kalah.

Ini sangat mengecewakan buat saya, karena ambisi saya kelewat besar pada saat penugasan dan akhirnya membuat saya menyalahkan diri sendiri akan inkapabilitas saya dalam mengontrol keadaan pikiran saya agar tetap tenang dan fokus pada brief dan bukan pada hasil akhirnya dulu.

Kemudian, 2 hari berselang setelah malam penganugerahan dan saya masih merasa kecewa. Namun lalu saya berpikir bahwa, inkapabilitas saya tersebut memang sesuatu yang mengecewakan, tapi toh memang semua orang punya waktunya masing-masing, jika saya kalah kemarin masih akan ada sederet kompetisi lainnya yang mungkin bisa saya coba.

Kekecewaan saya masih tersisa tapi selebihnya malah sekarang berubah menjadi optimisme, bahwa akan ada Caraka di Mei 2010 dan Pinasthika di September 2010. Sesuatu yang harus saya nantikan dengan optimisme dan fokus yang tinggi agar saya bisa menang dalam kompetisi-kompetisi tersebut.

Seperti kata Confucius "Our Greatest Glory is not in never falling, but in rising every time we fall".

dan kini saya bisa melengkapi mindset saya tadi menjadi,

There is no room for a loser. But if you lose there will be a hundred rooms more for you in the future, if you're not drowned in your own fall.

Saatnya menatap ke depan dengan penuh optimisme, selamat bertemu di kompetisi selanjutnya :)


awarding night citra pariwara, 20th of November 2009 at The Hall, Senayan City

0 komentar:

Posting Komentar