Toilet dan tiket kereta

Selasa, 29 Desember 2009

kemarin siang saya bertolak ke kota kembang Bandung, mengunjungi si Gentong* yang sedang mengumpulkan tugas akhirnya semester ini, sekalian bermaksud menjemputnya pulang untuk liburan tahun baru ini.

Seperti yang tentunya kita sama-sama ketahui, ada sejumlah alternatif kendaraan untuk bertolak ke kota kembang itu sekarang, tidak lagi terbatas pada kereta api saja seperti ketika belum adanya ruas tol cipularang yang terkenal karena sering anjloknya itu. Maka muncul sejumlah opsi kendaraan yang saya gunakan untuk pergi ke Bandung siang itu,

1. Mobil Pribadi (si volvo ciamik B 8154 ZC)
Tentunya opsi ini adalah yang paling nyaman, tidak perlu repot-repot berpikir bagaimana bepergian nanti di kota bandung sana, dan tentunya bisa seenak jidat menentukan jadwal keberangkatan, mau mampir dimana dulu dan hak-hak preogratif lainnya yang tidak akan ditemukan di opsi lain. Meskipun begitu, pilihan ini tidak rasional secara biaya, mengingat konsumsi bensin si volvo ciamik yang 1 berbanding 4, which means untuk menempuh jarak ke Bandung yang kurang lebih 120 km, dia akan menghabiskan sekitar 30 liter bensin, dikalikan 4500 menjadi sekitar Rp 135.000,- untuk sekali jalan. Belum ditambah tol sekitar 40.000 dan bensin selagi berputar-putar di dalam kota Bandung yang pada akhirnya saya bisa mengeluarkan Rp 400.000 - Rp 500.000 sendiri untuk transport, padahal keadaan ekonomi pribadi sedang berat mengingat akhir bulan. Akhirnya opsi ini pun saya coret.

2. Travel (si X-Trans Pancoran)
Ini opsi yg lumayan nyaman sebenarnya, dengan waktu tempuh normal sekitar 2,5 jam dan biaya tiket sekitar 70 ribu sekali jalan, maka ini opsi yang realistis dari segi biaya. Kelemahan dari opsi ini adalah bahwa ini adalah holiday season yang berarti ruas cipularang pastinya macet berat dan yang paling penting adalah absennya fitur toilet di moda transportasi ini, padahal hari itu entah kenapa hasrat untuk menuruti panggilan alam sedang gencar-gencarnya. Atas pertimbangan itu akhirnya opsi ini pun turut dicoret.

3. Kereta (Parahyangan dan Argo Gede)
Pilihan yang paling klasik. Moda transportasi ini sebenarnya sudah banyak ditinggalkan orang tapi karena paling realistis dari segi biaya dan disediakannya fitur toilet di dalam kendaraan maka akhirnya saya pun memilih memaki transportasi ini. Waktu tempuhnya lebih panjang 30 menit dibandingkan travel, tapi yang pasti bebas macet karena tidak melewati ruas cipularang (ya iyalah).

Dengan bermodal uang 60 ribu rupiah, saya kemudian membeli tiket kereta Argo Gede yang berangkat pukul 11.42. Sekitar 30 menit saya menunggu dan tepat pukul 11.42 kereta Argo ini pun segera meluncur menuju kota Bandung dari stasiun Jatinegara. Wow, hebat sekali akhirnya ada juga transportasi umum di Indonesia yang tepat waktu, tidak seperti transportasi umum pada umumnya.

Sekitar 40 menit perjalanan, alam pun memanggil saya untuk menuntaskan hasrat yang terpendam di toilet terdekat. Pada awalnya tidak berharap banyak sebenarnya dengan toilet di kereta karena ada ratusan penumpang per harinya, saya tidak berharap akan toilet yang bersih, yaa setidaknya bekas-bekas produk buangan manusianya sudah tersapu bersih lah.

Lagi-lagi saya tercengang, wow! Toilet Argo Gede yang saya naiki adalah toilet kereta paling bersih yang pernah saya kunjungi seumur hidup saya. Saya sampai terharu, akhirnya ada juga toilet umum yang bersih di Indonesia raya ini. Lantainya bersih, tidak bau (bahkan wangi seperti habis disemprot pewangi ruangan), perkakas toiletnya pun lengkap dari tissue sampai kaca! Saya sampai betah berlama-lama di dalam toilet kereta itu!

Namun hal yang kontras kemudian saya rasakan saat perjalanan pulang dari Bandung menuju Jakarta. Kali ini saya tidak naik Argo Gede, tapi naik Parahyangan kelas eksekutif. Dengan harga tiketnya yang terpaut 10 ribu rupiah saja (Argo Gede 60 ribu, Parahyangan Eksekutif 50 ribu), saat baru menaiki kereta atmosfer yang jauh berbeda dengan Argo terasa sekali. Gerbongnya terasa kumuh dan kotor, ditambah bau-bau tidak sedap. Apalagi toiletnya yang kemudian saya hanya bisa komentari,

"Akhirnya ketemu juga toilet yang Indonesia banget!"

Kotor, jorok, bau dan menjijikkan.

Kenapa ya hanya gara-gara harga tiket yang terpaut 10 ribu saja toiletnya bisa sebegitu kontrasnya? Apakah sesulit itu memelihara kebersihan toilet umum?

Gara-gara melihat kondisi toilet made in Indonesia itu pun, saya mengurungkan niat untuk menuntaskan hasrat terpendam yang sudah tertahan sekian lama di dalam perut. Mungkin 10 ribu beda harga Argo dan Parahyangan memang ditujukan untuk maintenance toiletnya kali ya? 

0 komentar:

Posting Komentar